Bapak, Andai Dapat Kuputar Ulang Waktu, Ingin Aku Memelukmu Lagi
InfoNetizen - Kehilangan sosok Bapak saat sedang beranjak dewasa, membuat sahabat kami merasakan kehilangan besar. Ada penyesalan, mengapa dulu tidak belajar mengenai kedewasaan kepada Bapak. Namun demikian, langkah sahabat kami ini tidak berhenti. Inilah kisah yang dia tuliskan untuk
Humoris. Keras. Konsisten. Jika ia katakan A, maka selamanya akan tetap A. Itu adalah beberapa sifat yang Bapak miliki, setidaknya sifat itu masih bisa kurasakan hingga umurku 16 tahun. Kini umurku 22 tahun, umur yang bukan anak-anak lagi. Sayangnya, aku belum merasa jiwa kedewasaan melekat pada diriku. Aku sendiri tak mengetahui apa penyebabnya. Aku masih sering mengeluh, mudah marah, cengeng, cemburuan, dan selalu menginginkan sesuatu yang lebih dari yang aku punya saat ini. Kata orang, kedewasaan tak dapat dilihat dari umur seseorang.
Ada lagi yang bilang bahwa kedewasaan muncul ketika kamu belajar menghadapi masalah. Namun, bagaimana jika kubilang bahwa kedewasaan diperoleh dari diri seorang Bapak?
Bapak Pergi Selamanya Saat Aku Mulai Belajar Dewasa
Sekitar bulan Agustus tahun 2010, Bapak divonis mengidap penyakit Hepatitis C. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang menginginkan penyakit berbahaya menyerang tubuhnya, termasuk Bapak. Mulai dari pengobatan modern hingga tradisional sudah ia jalani, namun tetap dokter mengatakan bahwa umurnya tak lama lagi. Tangan dan pundaknya menyusut, namun bagian perut, paha dan kakinya membengkak berisikan cairan. Hingga saat aku mengetik cerita ini, aku masih saja mengusap air mata yang jatuh mengaliri kedua pipiku. Mengerikan untuk kubayangkan kembali betapa buruknya kondisi tubuh Bapak saat itu.
Hari kesembilan bulan Desember 2010, Bapak meninggalkan kami sekeluarga untuk selama-lamanya. Semua orang yang datang melayat memberikan penghiburan, yang intinya adalah, “Bapakmu sudah bahagia di sana, dia tidak merasakan sakit lagi.” Hingga saat ini aku berharap bahwa perkataan mereka itu benar. Beberapa tahun setelah itu, saat aku menginjak umur 20, aku mulai merasakan penyesalan. Penyesalan apa?
Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Di mana Bapak sekarang?”, atau “Apa yang sedang Bapak lakukan di sana?” atau “Apa saat ini Bapak masih melihatku?”. Hingga suatu hari, pertanyaan yang lebih dalam terlintas di benakku, “Apa yang sudah kulakukan untuk Bapak?”. Dari pertanyaan ini, muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang semakin membuat rasa sesalku bertambah, “Apa selama Bapak hidup, aku pernah membuatnya bahagia?”. Jawabannya jelas, aku rasa aku belum pernah membuatnya bahagia, hingga detik ini.
“Anakmu ini kini sudah berusia 22 tahun, Pak. Tapi mengapa masih kekanak-kanakan? Aku ingin kau yang mengajarkanku menjadi dewasa, Pak. Bapak tahu kan, aku ini paling cengeng di antara keempat anakmu yang lainnya, juga paling cemburuan. Aku plin plan dalam mengambil keputusan, aku ingin konsisten sepertimu, jika ingin A lakukan A, jika B lakukan B. Aku belum pernah melihatmu menangis, tapi mengapa aku mudah sekali menangis? Aku ingin dewasa sepertimu, Pak. Bolehkah aku memutar waktu kembali, setidaknya hingga aku menjadi dewasa untuk menjalani kehidupanku, baru kau boleh tinggalkan aku, Pak?”
Tentunya langkahku tak berhenti hanya dengan berdoa,
aku akan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupku dan membanggakan Bapak.
Aku berharap, aku segera berubah menjadi manusia yang lebih dewasa. Mungkin saja, di balik semua ini Bapak mengajariku secara tidak langsung, untuk bersikap lebih dewasa menjalani kehidupanku hingga dapat membuatnya bahagia di atas sana, iya mungkin. Cepat atau lambatnya aku menjadi manusia yang dewasa, itu hanyalah masalah waktu.
Humoris. Keras. Konsisten. Jika ia katakan A, maka selamanya akan tetap A. Itu adalah beberapa sifat yang Bapak miliki, setidaknya sifat itu masih bisa kurasakan hingga umurku 16 tahun. Kini umurku 22 tahun, umur yang bukan anak-anak lagi. Sayangnya, aku belum merasa jiwa kedewasaan melekat pada diriku. Aku sendiri tak mengetahui apa penyebabnya. Aku masih sering mengeluh, mudah marah, cengeng, cemburuan, dan selalu menginginkan sesuatu yang lebih dari yang aku punya saat ini. Kata orang, kedewasaan tak dapat dilihat dari umur seseorang.
Ada lagi yang bilang bahwa kedewasaan muncul ketika kamu belajar menghadapi masalah. Namun, bagaimana jika kubilang bahwa kedewasaan diperoleh dari diri seorang Bapak?
Bapak Pergi Selamanya Saat Aku Mulai Belajar Dewasa
Sekitar bulan Agustus tahun 2010, Bapak divonis mengidap penyakit Hepatitis C. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang menginginkan penyakit berbahaya menyerang tubuhnya, termasuk Bapak. Mulai dari pengobatan modern hingga tradisional sudah ia jalani, namun tetap dokter mengatakan bahwa umurnya tak lama lagi. Tangan dan pundaknya menyusut, namun bagian perut, paha dan kakinya membengkak berisikan cairan. Hingga saat aku mengetik cerita ini, aku masih saja mengusap air mata yang jatuh mengaliri kedua pipiku. Mengerikan untuk kubayangkan kembali betapa buruknya kondisi tubuh Bapak saat itu.
Hari kesembilan bulan Desember 2010, Bapak meninggalkan kami sekeluarga untuk selama-lamanya. Semua orang yang datang melayat memberikan penghiburan, yang intinya adalah, “Bapakmu sudah bahagia di sana, dia tidak merasakan sakit lagi.” Hingga saat ini aku berharap bahwa perkataan mereka itu benar. Beberapa tahun setelah itu, saat aku menginjak umur 20, aku mulai merasakan penyesalan. Penyesalan apa?
Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Di mana Bapak sekarang?”, atau “Apa yang sedang Bapak lakukan di sana?” atau “Apa saat ini Bapak masih melihatku?”. Hingga suatu hari, pertanyaan yang lebih dalam terlintas di benakku, “Apa yang sudah kulakukan untuk Bapak?”. Dari pertanyaan ini, muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang semakin membuat rasa sesalku bertambah, “Apa selama Bapak hidup, aku pernah membuatnya bahagia?”. Jawabannya jelas, aku rasa aku belum pernah membuatnya bahagia, hingga detik ini.
“Anakmu ini kini sudah berusia 22 tahun, Pak. Tapi mengapa masih kekanak-kanakan? Aku ingin kau yang mengajarkanku menjadi dewasa, Pak. Bapak tahu kan, aku ini paling cengeng di antara keempat anakmu yang lainnya, juga paling cemburuan. Aku plin plan dalam mengambil keputusan, aku ingin konsisten sepertimu, jika ingin A lakukan A, jika B lakukan B. Aku belum pernah melihatmu menangis, tapi mengapa aku mudah sekali menangis? Aku ingin dewasa sepertimu, Pak. Bolehkah aku memutar waktu kembali, setidaknya hingga aku menjadi dewasa untuk menjalani kehidupanku, baru kau boleh tinggalkan aku, Pak?”
Tentunya langkahku tak berhenti hanya dengan berdoa,
aku akan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupku dan membanggakan Bapak.
Aku berharap, aku segera berubah menjadi manusia yang lebih dewasa. Mungkin saja, di balik semua ini Bapak mengajariku secara tidak langsung, untuk bersikap lebih dewasa menjalani kehidupanku hingga dapat membuatnya bahagia di atas sana, iya mungkin. Cepat atau lambatnya aku menjadi manusia yang dewasa, itu hanyalah masalah waktu.
Komentar
Posting Komentar