TERNYATA, Inilah Batas Waktu Maksimal Seorang Suami Meninggalkan Isrtrinya...
InfoNetizen - Dalam
Islam, pernikahan bukan hanya pengaturan soal keuangan dan fisik, tapi
lebih dari itu merupakan kontrak suci, anugerah dari Allah SWT, untuk
bisa hidup bahagia, hidup menyenangkan dan meneruskan garis keturunan.
Tujuan
utama dari pernikahan dalam Islam adalah realisasi dari ketenangan dan
rahmat antara pasangan. Untuk pencapaian tujuan tertinggi ini, Islam
mendefinisikan tugas dan hak untuk suami dan istri dengan kadar
tertentu.
Seorang
ulama Muslim terkemuka, Dr Su`aad Salih, profesor Fiqh di Universitas
Al-Azhar menyatakan, bahwa batas maksimum suami diperbolehkan untuk
berada jauh dari istrinya hanyalah empat bulan, atau enam bulan sesuai
dengan pandangan para ulama Hanbali. Ini adalah periode maksimum,
utamanya untuk para istri dapat bertahan ketika berpisah dari suaminya.
Pada
zaman khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu pernah terjadi
kisah yang menggambarkan derita seorang istri yang merindukan sentuhan
suaminya, sementara suaminya sedang tidak berada di sisinya karena
tengah mengemban tugas berjihad di medan perang.
Diriwayatkan
suatu malam Khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu tengah
melakukan perjalanan keliling Madinah yang mana hal demikian sering
dilakukannya semenjak ia menjabat khalifah.
Ketika
melintasi suatu rumah yang terkunci, sekonyong-konyong Umar bin
Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu mendengar seorang perempuan Arab berkata :
Malam kian larut berselimut gulita
Telah sekian lama kekasih tiada kucumbu
Demi Allah, sekiranya bukan karena mengingat-Mu
Niscaya ranjang ini berguncang keras
Namun, duhai Rabbi…
Rasa malu telah menghalangiku
Dan suamiku itu…
Terhormat lagi mulia
Pantang kendaraannya dijamah orang
Setelah itu perempuan itu menghela nafas dalam-dalam seraya berkata “Alangkah sepinya, betapa lama suamiku meninggalkan diriku…”
Umar pun terpaku mendengar tuturan perempuan itu lalu ia bergumam “Semoga Allah merahmatimu.”
Lalu
keesokan harinya Umar membawakan pakaian dan sejumlah uang untuk wanita
itu. Lalu ia mencari tahu perihal suami wanita itu. Menurut informasi
yang diterimanya, suami wanita itu sedang berjihad fi sabilillah di
medan perang, Umar pun menulis surat kepada suami wanita tersebut dan
menyuruhnya pulang.
Selanjutnya
Umar mendatangi putrinya Hafshah dan bertanya “Wahai putriku, berapa
lamakah seorang perempuan tahan berpisah dengan suaminya?”
“Subhaanallah ! Orang seperti engkau bertanya kepada anak sepertiku mengenai masalah seperti ini?” jawab Hafshah.
“Kalau bukan karena aku ingin mengatasi persoalan kaum muslimin aku tidak akan bertanya kepadamu,” kata Umar.
Lalu
Hafshah menjawab, “Bisa sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Setelah
empat bulan ia tidak akan mampu lagi bersabar. Riwayat lain menyebutkan
“Lima bulan, enam bulan.”
Maka
sejak saat itu, khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu
menetapkan jangka waktu itu sebagai ukuran lamanya pengiriman pasukan ke
medan perang. (Manaqib Umar Bin Khatthab karya Ibnul Jauzi).
Namun
perlu dicatat, jika seorang istri setuju untuk memberikan hak ini lebih
dari periode tersebut, maka itu adalah sah dan tidak ada yang salah
dalam hal ini.
Selain
itu, Mufti Ibrahim Desai menambahkan, “Seseorang yang sudah menikah dan
tinggal jauh dari istrinya untuk periode apapun yang disepakati
bersama. Namun, jika istri tidak senang suaminya tersebut tinggal jauh,
maka suami harus bertemu istrinya setidaknya sekali setiap empat bulan.”
Sumber : yoksebarkan.com
Komentar
Posting Komentar